Masyarakat Bali memandang kehidupan secara Śākta-wada yaitu semua yang ada dalam kehidupan, termasuk manusia & alam semesta adalah perwujudan dari śakti, energi Sang Kesadaran Agung.
Orang Bali tidak menganggap tempat angker sebagai tempat "ber-hantu" yang hantunya perlu disingkirkan, namun sebagai energi yang perlu diharmoniskan dengan berbagai ritual.
Para Śākta-vadin ini memandang semua hal termasuk diri & lingkungan alamnya sebagai satu hal yang sakral. Hampir setiap jengkal tanah Bali disakralkan. Mulai dari kamar, ada tempat suci. Tempat suci juga ada di masing-masing rumah, di pertigaan atau perempatan jalan, di sawah-sawah, di pegunungan, di pohon-pohon besar, pantai, batu besar, semua memiliki Palinggih (tempat suci).
"Manifestasi mahabesar dunia material yang menakjubkan ini secara keseluruhan adalah badan agung Tuhan, tempat teralaminya keseluruhan alam semesta material masa lalu, masa sekarang, dan masa depan" (Bhāgavata Purāṇa 2.1.24 & Puruṣa Sūktam Regveda)
Pandangan orang Bali terhadap tubuh manusia
Manusia selalu dipandang sebagai personafikasi dari Sang Keagungan. Tubuh dipandang sebagai rumah keagungan itu. Ekspresi dari pandangan demikian adalah adanya banyak ritual yang berpusat pada manusia (manusa yadnya). Mulai dari dalam kandungan, baru lahir, baru bisa berjalan, baru beranjak dewasa, menikah sampai kemudian mati, semua ada ritual khususnya setiap 6 bulan sekali akan dilakukan upacara peringatan kelahiran, yang dilakukan dengan menghaturkan berbagai persembahan pada aspek-aspek niskala dalam diri.
"Aku adalah Roh Yang Utama yang bersemayam di dalam hati semua makhluk hidup. Aku adalah awal, pertengahan, dan akhir semua makhluk." (Bhagavad-gītā 10.20)
Bali adalah tanah tantra, yang bukan hanya sebuah proses pemujaan "ke atas", namun juga "ke samping" & "ke bawah". "Tetapi Akulah ritual, Akulah korban suci, persembahan kepada leluhur, ramuan yang menyembuhkan, dan mantera rohani. Aku adalah mentega, api dan apa yang dipersembahkan." (Bhagavad-gītā 9.16).
Posting Komentar