Bali terutama umat Hindu memiliki sejumlah upacara atau persembahan, yang dikenal dengan sebutan Panca Yadnya, yaitu 5 persembahan suci yang tulus iklas, persembahan tersebut ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widi, para leluhur, kepada para Rsi atau guru, persembahan untuk kesucian lahir batin Manusia dan persembahan kepada para Bhuta kala dan makhluk bawahan.
Dan salah satu bagian kecil dari upacara tersebut adalah otonan, yang merupakan bagian dari persembahan untuk kesucian manusia termasuk dalam upacara Manusia Yadnya.
Upacara persembahan untuk kesucian lahir dan bathin bagi manusia yang hidup didunia ini, ada beberapa macam, mulai upacara dari terbentuknya benih-benih kehidupan manusia di dalam kandungan sudah diberikan persembahan, upacara pada manusia tersebut diantaranya upacara bayi dalam kandungan (megedong-dedongan), upacara Kepus puser, Tutug kambuhan (umur 42 hari), Nyambutin (3 bulanan/105 hari), Otonan (6 bulananin/210 hari), Ngraja Sewala/Ngraja Singa (meningkat remaja), Metatah (potong gigi) dan Wiwaha (perkawinan).
Upacara Otonan – Hari Kelahiran Menurut Hindu
Otonan atau hari kelahiran dalam weton Bali, seringkali dianggap sepele dan tidak dilaksanakan. Padahal, ‘ulang tahun’ yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali ini, sangat penting dengan rerentetan banten dan maknanya.
Setiap tahun kita semua merayakan ulang tahun pada tiap tanggal kelahiran. Namun, di Bali juga memiliki prosesi ritual untuk memperingati hari kelahiran.
Dalam penanggalan Bali, weton tersebut biasanya jatuh setiap enam bulan sekali. Sulinggih asal Mengwi, Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa, mengatakan, dalam Lontar Jyotisha dan Pawacakan disebutkan, pada saat weton kelahiran wajib mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan, atas diberinya kesempatan sang atman untuk dapat bereinkarnasi kembali. “Otonan itu berasal dari bahasa Jawa kuna dari kata weton dan berubah konsonan menjadi oton yang artinya lahir atau menjelma,” urai Ida Pandita Mpu Putra Yoga Parama Daksa.
Nah, berdasarkan apa hari kelahiran ini? ” Dalam tradisi Hindu di Bali, menentukan Otonan harus menggunakan sapta wara, panca wara, dan wuku. Jadi, tidak bisa sembarangan, karena semua itu sangat memengaruhi perilaku serta jalan hidup seseorang,” ujarnya.
Secara etimologi, lanjutnya, Otonan adalah hari kelahiran bagi umat Hindu yang datang dan diperingati setiap 210 hari sekali. Dalam lontar Pawacakan, Otonan memiliki makna mensyukuri, wara nugraha. “Kita diberikan anugerah dalam bentuk kesempatan untuk bereinkarnasi kembali membayar karma. Dalam upacara piotonan, terdapat byakala atau prayascita yang fungsinya untuk menyucikan diri, melenyapkan kekotoran batin, menjauhkan diri dari gangguan Bhutakala,” paparnya.
Diakuinya, prosesi Otonan ada kaitannya dengan catur sanak, sebagai simbolisasi atas rasa syukur. “Kita lahir ke dunia bersama empat saudara, yaitu darah, ketuban, placenta, dan ari – ari. Lewat Otonan kita berbagi dan mengingat mereka. Lalu bersyukur pada Tuhan atas hidup yang telah diberikan,” ujarnya.
Sarana Banten Upacara Otonan
Dalam upacara otonan, beberapa banten yang dipersembahkan diantaranya banten pejati, sesayut pawetuan, dapetan, canang sari. Pada saat upacara otonan tersebut secara simbolis dipakaikan gelang putih, kata benang memiliki konotasi “beneng” yang berarti lurus, sedangkan warna putih berarti suci, diharapkan dalam otonan tersebut selalu mendapatkan jalan yang lurus dan mudah dengan dasar kesucian.
Dalam pelaksanaan dan penentuan hari otonan menurut kalender Bali dan kalender Isaka tentu berbeda dengan kalender Masehi. Dalam kalender Isaka pergantian hari berikutnya dimulai saat matahari terbit yaitu jam 6 pagi sampai jam 6 pagi esok harinya, sama seperti penentuan atau durasi pelaksanaan hari raya Nyepi.
Berbeda dengan pergantian hari dalam kalender Masehi, penentuan hari berikutnya dimulai setelah jam 12 malam. Jadi perlu dipahami dalam penentuan hari raya Otonan bagi umat Hindu, terutama mereka yang lahir saat dini hari (misalnya jam 3 pagi) dalam kalender Bali masih masuk pada hari sebelumnya, sedangkan Masehi sudah termasuk hari berikutnya.
Mantram dan Doa Saat Otonan
Mantram Mabyakala atau Byakaon :
Om shang bhuta nampik lara sang bhuta nampik rogha, sang bhuta nampik mala, undurakna lara roga wighnanya manusanya. Om sidhirastu Yanama Swaha.
Sesayut Bayu Rauh Sai:
Om sanghyang jagat wisesa,
metu sira maring bayu, alungguh maring bungkahing adnyana sandi
Om Om sri paduka guru ya namah. Om ung sanghyang antara wisesa, metu sira maring sabda,
Mantram Matebus Benang:
Om angge busi bayu premana maring angge sarire,
Mantram Masesarik:
Kening :
Om sri sri ya nama swaha.
Bahu kanan :
Om anengenaken phala bhoga ya nama swaha.
Bahu kiri :
Om angiwangaken pansa bhaya bala rogha ya nama swaha.
Telapak tangan :
Om ananggapaken phala bhoga ya nama swaha.
Seperti diuraikan diatas Otonan salah satu bagian upacara Manusia Yadnya, yan tujuanya untuk memperingati hari kelahiran manusia bagi umat Hindu di Bali, prosesi tersebut bertujuan untuk kemuliaan dan persembahan kesucian lahir dan bathin seorang manusia, persembahan tersebut dilakukan setiap 6 bulan sekali (210 hari).
Otonan sendiri berasal dari kata “pawetuan” dan dari asal kata bahasa Jawa kuno “wetu” atau metu yang artinya keluar, kemudian berubah menjadi oton atau otonan. Maka pada saat upacara otonan tersebutlah sejatinya hari ulang tahun seseorang berdasarkan pemahaman agama Hindu.
Jadi secara etimologi, peringatan hari lahir atau ulang tahun bagi seseorang yang beragama Hindu diperingati setiap 210 hari (6 bulan) sekali, adapun dasar perhitungan hari lahir tersebut sesuai dengan perhitungan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku salah satu contohnya hari lahir seseorang pada hari Wraspati (Saptawara), Pon (panca wara), Uye (wuku).
Berbeda dengan hari lahir didasarkan perhitungan kalender Masehi yang datangnya setiap satu tahun sekali (365 atau 366 hari), bagi pandangan agama Hindu, perayaan ulang tahun masehi tersebut hanya bersifat seremonial saja, berbeda dengan Otonan yang sarat nilai-nilai spiritual dan rohani.
Pada peradaban modern sekarang ini, hari ulang tahun tentunya tidak asing lagi, bahkan anak-anak yang belum mengenal pendidikan sekolahpun sudah mengenalnya, bisa dimaklumi karena saat-saat tersebut dirayakan kemeriahan akan kelahiran seseorang secara seremonial dan terkadang dengan kemeriahan secara besar-besaran, bersifat hura-hura, apalagi dengan adanya media sosial yang selalu update dan merasa bangga telah merayakan ultah dengan meriah, padahal hanya sedikit bersentuhan dengan nilai-nilai spiritual.
Bagi sejumlah orang dalam perayaan hari kelahiran berdasarkan kalender Masehi atau geogrian tersebut ada yang beranggapan atau berasumsi, bahwa perayaan tersebut berkaitan dengan penganut Kristiani.
Bagi umat Hindu, tentunya perayaan hari Otonan tersebut adalah hal prioritas dibandingkan dengan perayaan Ultah, bahkan otonan tersebut tidak perlu besar dan mewah, tidak butuh biaya banyak, yang terpenting adalah nilai rohaninya, karena banyak makna-makna filosofis dalam perayaan otonan tersebut.
Karena pada saat otonan itulah, kita manusia memanjatkan puja kepada Sang Hyang Pencipta atau Paramaatman sebagai jiwa semua makhluk hidup, karena roh dan jiwa yang ada pada tubuh bisa menjelma menjadi seorang manusia, serta saat itulah manusia memohon berkah bagi atman atau jiwa untuk kesejahteraan dan keselamatan dalam mengarungi kehidupan.
Hari pertama upacara otonan pada manusia tentunya saat anak tersebut berumur 6 bulan (210 hari), karena ini merupakan peringatan hari lahir, maka dilakukan secara terus menerus setiap 6 bulan sekali, sepanjang seseorang masih hidup, bahkan sampai tua dan kakek-nenek.
Penerapan upacara agama Hindu seperti juga perayaan Otonan, selain berdasarkan sastra agama yang bersumber pada lontar-lontar kuno, juga berdasarkan dengan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan) seseorang tersebut berada, sehingga pelaksanaanya terkadang sedikit berbeda. Seperti saat ada yang dilakukan dengan skala upacara yang lebih besar dan meriah pada saat menginjak 1 oton, 3 oton atau saat menek daha truna (menginjak dewasa).
Budaya dan tradisi Hindu ini memang sangat penting bagi kehidupan manusia, walaupun dalam kehidupan modern, otonan tersebut terkadang ditinggalkan apalagi ada pemahaman seorang wanita yang sudah menikah tidak lagi melakukan otonan, itu pemahaman yang keliru, karena upacara otonan itu untuk semua orang baik itu laki dan perempuan, tua dan muda, karena menurut lontar Dharma Kahuripan dan Jatma Prawerthi, bahwa Ida Hyang Siwa menganugerahkan kepada Ida Bhatara Surya untuk menerima segala persembahan manusia setiap ada perubahan status.
Nah dalam otonan tersebut manusia bertambah umur dan bertambah tua yang tentunya statusnya berubah dan wajib melakukan persembahan walaupun dalam skala kecil, untuk itulah upacara otonan wajib bagi manusia tersebut.
Posting Komentar